https://www.husnaroina.my.id/

Cerpen Bujang Lapuk Karya Husna Roina

Posting Komentar

    

Cerpen Bujang Lapuk Khas Palembang

       Bujang lapuk begitulah aku dijuluki orang di kampungku Lorong Pulosalam Kota Palembang. Usia yang sudah kepala empat tapi aku belum juga menikah. Padahal jika dilihat aku belum terlalu tua untuk menyandang gelar itu. Wajahku juga belum menunjukkan tanda-tanda keriput, dan menurutku wajahku masih tampan. Status lajangku yang tak pernah menjadi persoalaan untukku. Tapi tidak dengan orang tuaku, terutama ibu yang selalu saja meminta aku untuk segera menikah. Dengan alasan beliau sudah ingin menimang cucu. Belum lagi aku yang selalu dibanding-bandingkan dengan bujang-bujang di kampungku yang usia dua puluhan sudah banyak yang menikah. Dan menginjak usia kepala empat sudah punya buntut tiga sampai empat anak.

Hampir disetiap kesempatan ibu dan bapak selalu berusaha menjodohkan aku dengan anak-anak kenalannya. Agar aku segera melepas status lajangku. Belum lagi ibu yang suka mendramatisir keadaan dengan menangis-nangis agar keinginannya dipenuhi. Ibu selalu saja merasa tersinggung jika ada tetangga yang bertanya kapan aku akan menikah. Belum lagi ibu-ibu yang berkumpul di warung sayur milik Bik Iyem sering kali berbagi cerita tentang cucu-cucu mereka yang lucu. Dan ibuku hanya gigit jari karena tidak bisa ikut nimbrung dalam obrolan itu. Setiap kali pulang dari warung, ibu akan selalu mencecarku dengan pertanyaan “kapan aku akan menikah?” lagi dan lagi. Aku yang melintas di jalan kampung pun dan bertemu dengan para tetangga, kawan-kawan sejawat tidak pernah tinggal untuk menanyakan pertanyaan yang sama. Hanya untuk sekadar berbasi-basi denganku. Belum lagi ketika menghadiri hajatan di kampung pertanyaan itu sudah seperti slogan saja dalam hidupku. Ketika bertemu harus mengatakan kata kunci “kapan menikah?” seperti acara-acara kuis di televisi saja. Aku muak.

Basa-basi itulah cara hidup bertetangga, kalau tidak basa-basi dianggap tidak ramah. Menanyakan persoalaan asmara orang lain saja sudah biasa. Dengan dalih peduli. Entahlah aku hanya merasa mereka terlalu ingin tahu saja. Dan menjadikan itu sebagai bahan gosip kalau jadwal kumpul-kumpul tiba. Sebenarnya tidak ada jadwal khusus, ibu-ibu selalu berkumpul di warung sayur Bik Iyem hampir setiap hari dengan alasan membeli bahan-bahan untuk memasak. Walaupun dengan niat berbelanja bahan masakan tapi dibalik itu semua ibu-ibu itu punya tujuan tesembunyi. Sudah seperti markas saja warung Bik Iyem itu. Seluruh gosip-gosip di kampung dikumpulkan jadi satu dan digodok lagi. Warung Bik Iyem sudah seperti tempat mengadakan diskusi meja bundar saja. Gosip yang sudah digodok dan matang dengan ditambahi bumbu-bumbu biar sedap siap beredar di kampung dan rumah-rumah warga. 

Karena aku yang belum juga kunjung ada tanda-tanda akan menikah. Menjadikan itu salah satu bahan gosip ibu-ibu juga. Aku dianggap tidak normal, tidak suka dengan wanita. Kejantananku pun dipertanyakan. Ada yang mengatakan burung kebanggaanku tidak bisa berdiri menantang gravitasi. Ingin sekali aku menyumpal mulut-mulut busuk itu yang meragukan kegagahan juniorku. Mereka tidak tahu saja sudah berpetualang kemana saja burungku ini. Sudah berapa banyak malam-malam panas aku habiskan dengan terbangun di atas seprai-seprai carut marut yang sudah tidak rapi lagi. Berapa banyak desahan indah dan derit ranjang yang mengisi melody sepanjang malam sebagai pengahantar tidur lelapku. Bahkan janda kembang di kampungku saja sudah pernah mencecap kegagahan ini. Yang katanya burungku punya ukuran jumbo dan lebih mampu memuaskannya dibanding mantan suaminya yang preman pasar itu.

Surtina janda kembang kampung Pulosalam sering memintaku bermalam di rumahnya dan menghangatkan ranjangnya. Berbagai macam gaya sudah kami coba seperti aktor video porno saja. Di saat para tetangga terlelap tidur Surtina malah mengeluarkan suara ribut penuh desahan. Hentakan-hentakan yang membuat dia menggelinjang dalam kenikmatan. Setelah selesai sesi bercinta Surtina tersenyum manis kepadaku. Memelukku dan berbagi kehangatan suhu tubuh menghalau dinginnya malam yang semakin larut. 

“Sungguh kau sangat tangguh, aku sangat puas”. Puji Surtina usai sesi bercinta kami untuk kesekian kalinya. “ Kapan-kapan kita main lagi ya mas." 

Dia selalu memuji keperkasaanku sangat kuat dan tangguh yang mampu memuaskan syahwatnya yang selalu menggebu. Sungguh gila wanita itu. 

Pernah suatu ketika dia memintaku untuk menikahinya. Surtina mengatakan dia mencintaiku. Daripada terus-terusan berbuat dosa dan takut digrebek oleh warga. Tidak perlu merasa was-was setiap kali bertandang. Tidak perlu menunggu penghuni kampung terlelap baru menggedor pintu rumahnya. Kalau sudah sah tidak akan ada yang mengganggu kegiatan panas mereka. 

Surtina itu janda kembang yang masih berusia muda. Masih harum wanginya, wajahnya ayu nan cantik, kulitnya mulus putih bersih, dan tubuhnya sexy menggoda. Belum lagi pakaian yang dia gunakan minim dan menggundang liur lelaki yang memandangnya. Dia sudah menjadi incaran bujang-bujang di kampung. Banyak yang menantikan jandanya setelah gosip yang beredar, dia akan segera bercerai dengan suaminya yang suka main tangan itu. Belum lagi bapak-bapak tua yang sudah punya istri diam-diam suka menggoda Surtina dibelakang istri mereka. Banyak yang ingin mencicip madu janda kembang yang baru mekar itu. Tak sedikit yang terang-terangan meminta Surtina untuk menikah dan ada juga yang menawarinya menjadi istri kedua. Bahkan tawaran menjadi simpanan yang segalanya akan di penuhi pun datang menghampirinya. 

Tapi Surtina menolak semua tawaran itu. Lantaran dia sudah lama jatuh hati kepadaku. Karena sekarang dia sudah bercerai, Surtina terang-terangan menggodaku. Merayuku untuk mampir ke rumahnya setiap kali aku lewat depan rumahnya. Pakaian tipis yang sengaja dia pakai dijadikannya alat untuk melancarkan aksinya agar aku terpikat padanya. Membuatku tergoda dengan tubuh bohai miliknya. Pernah suatu ketika aku bertanya apa yang membuatnya jatuh hati padaku. Surtina berkata kalau aku memiliki wajah yang tampan. Dia selalu merasa bergairah ketika melihat ketampananku dan selalu melihatku sebagai seorang yang penyayang. Lantaran aku suka bermain dengan anak kecil. Ya, aku akui wajahku memang tampan dibanding mantan suaminya itu. sudah banyak wanita terpikat dengan ketampananku ini. 

***

Setiap sore banyak anak-anak kampung yang bermain di tanah lapang luas seberang rumahku. Sembari menunggu mahgrib tiba, aku terkadang duduk di teras rumah sambil membaca koran. Kalau bosan aku sering memandang anak-anak yang bermain layangan, sepak bola, atau sekadar berkumpul untuk menonton anak lainnya bermain. Melihat pemandangan anak-anak yang sedang bermain itu cukup menghibur rasa bosan dan lelah setelah seharian bekerja. Hatiku merasa senang. Sering kali ku lihat ada anak yang juga menatap kearahku. Mungkin dia sadar ada yang tengah memandangnya dari kejauhan. 

Sesekali aku juga suka menawari anak-anak itu minuman dingin untuk menghilangkan rasa haus mereka selagi bermain. Dan terkadang juga ku undang mereka untuk bermain playstation di rumahku. Di kalangan anak-anak aku dikenal ramah dan baik hati karena suka menawari mereka berbagai macam permainan yang mereka belum pernah memainkannya. Aku selalu merasa senang ketika melihat anak-anak bermain. 

Mereka sering kali berebut untuk ingin memainkan playstation meski sudah di kasih giliran untuk bermain. Masih saja ada yang kurang meski sudah dijatahi, ketika kalah pemain harus berganti. Karena anak-anak suka bermain di rumahku. Aku juga dikenal orang yang penyanyang oleh para tetangga sekitar. Rumahku sudah seperti taman bermain saja. Kalau anak mereka belum ada yang kembali ke rumah setelah magrib menjelang, tak jarang orang tuanya mencari kerumahku. 

Seorang bocah yang sedang menunggu giliran bermian ku panggil ke dalam untuk membantuku membawa nampan berisi makanan dan minuman untuk mereka. Bocah berusia 8 tahun itu aku giring duduk di pangkuanku. Aku mengajaknya mengobrol berbagai hal sembari menyuruh dia mengaduk gula dalam es teh manis yang sudah ku sediakan dalam tiap cangkir gelas. Aku mengelus pahanya perlahan. Rasanya ada sensi tersendiri ketika aku meraba-raba tubuh seorang bocah. hal ini sering kali aku lakukan ketika ada anak-anak yang bermain di rumahku.  Jantungku berdesir setiap kali ku usap tubuh bocah-bocah itu dan syahwatku meningkat.

***

Surtina mengajakku bertemu kembali, dia ingin mentraktirku makan bakso langganannya. Katanya baksonya sangat enak, yang makan di tempat itu sangat ramai. Kuahnya sedap sekali beda dengan penjual bakso yang pernah dia coba sebelumnya. Hubunganku dengan Surtina masih seperti biasa. Kita sesekali masih menghabiskan malam panas bersama. Warga kampung tidak ada yang tahu karena aku meminta Surtina tidak mengatakan apapun kepada orang lain. Aku malas digosipkan yang tidak-tidak lagi. Aku juga tidak ingin ada ribut dengan Pardi. Anak pak Camat yang sangat terobsesi dengan Surtina. Jika dipikir lagi akan baik untukku jika hubungan kami terungkap. Aku tidak akan lagi di panggil bujang lapuk. Gosip-gosip yang mengatakan bahwa aku tidak normal akan bisa dipatahkan. Akan tetapi aku tidak bisa, meski Surtina mengatakan dia mencintaiku dan memintaku menikahinya. Sebuah fakta yang tak bisa diabaikan bahwa Surtina juga sudah memiliki seorang kekasih. Walaupun dia tidak mencintainya. Ialah Pardi yang memaksa Surtina untuk menerima cintanya. Pemuda itu sungguh gila.  

Dalam perjalanan Surtina menanyakan perasaanku padanya. Di sela-sela obrolan di atas motor yang kami kendarai.

“Mas, sebenarnya kau cinta tidak sih sama aku? Setiap kali aku mengatakan perasaanku, kau selalu bilang ya.. aku tahu. Aku juga ingin tahu perasaanmu mas?” ucap Surtina. 

Aku hanya menjawabnya dengan deheman singkat lantas melanjutkan perjalanan kami.

Ketika kami hendak berbelok di jalan yang biasa kami lewatin ternyata sedang di tutup karena akan ada pengaspalan jalan. Akses lalu lintas di pindahkan menjadi jalan memutar lebih jauh. Mau tak tak mau aku harus melewati jalan tersebut. Jalan yang sangat aku hindari. Akan terlihat dari kejauhan Sekolah Dasar tempat aku pernah mengenyam pendidikan dulu sebelum pindah sekolah. Alasannya kenapa aku tidak mau melintas jalan tersebut, karena aku akan melihat kembali gedung sekolah lamaku dulu. Itu membuatku kembali mengingat kenangan yang sangat ingin aku lupakan. Kenangan yang ingin aku kubur dalam-dalam. 

***

Sewaktu sekolah dasar dulu ada seorang guru yang tiap kali mengajar dia akan memanggil salah satu murid laki-laki. Di pangkunya murid itu di pahanya sembari memeluk bocah kecil itu dari belakang. Buku pelajaran terbuka di atas meja. Tangannya meraba-raba paha murid lelaki itu sambil bibirnya komat kamit menjelaskan pelajaran. Perlahan tangannya semakin naik meremas-remas kelamin kecil yang terbungkus celana sekolah berwarna merah. Sesekali dia mendesah dan menggeram. Tonjolan keras dirasakan bocah itu tepat di belahan bokongnya. Sesekali dia akan menanyakan kepada murid itu apakah rasanya enak. Bocah kecil itu hanya mengangguk dia tidak mengerti apa yang dilakukan si guru kepadanya. Dia berpesan sebelum melepaskan muridnya jangan memberi tahukan kepada siapa-siapa.

Bocah kecil itu adalah aku. Saat itu aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukan guru itu padaku. Bahkan untuk mengungkapkan perasaan saja aku merasa takut, berbagai perasaan ku rasakan tapi aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Yang aku tahu saat itu aku takut kena marah. Aku bahkan tidak berani mengatakannya kepada orang tuaku lantaran guru itu mengatakan aku tidak akan naik kelas. Aku hanya memendamnya seorang diri dalam kebingungan.

Suatu ketika kotak pensilku ketinggalan di ruang kelas, ibu selalu memeriksa tas sekolahku setelah pulang sekolah. Kalau ada barang yang ketinggalan ibu akan marah padaku. Aku kembali ke sekolah untuk mengambilnya. Padahal sekolah sudah sepi karena murid-murid yang lain sudah pulang. Tapi dari kejauhan aku mendengar suara rintihan seorang anak yang menangis seiring dengan suara desahan dan geraman laki-laki dewasa. Rasa penasaranku muncul aku mencari sumber suara itu yang ternyata berasal dari kelasku. Aku terkejut melihat teman sekelasku sedang menungging dengan celana yang sudah melorot ke lantai. Dan seseorang tepat di belakangnya sedang mendorong sesuatu dari belakang dan membekap mulut teman sekelasku. Aku tahu betul bapak guru itu sering memanggilku ke depan dan mendudukan aku di pahanya. Aku ketakutan pulang dalam keadaan menangis meraung-raung kepada orang tuaku.

Aku tidak mau masuk sekolah setelah kejadian itu, aku lebih banyak diam mengurung diri. Takut hanya emosi itu yang aku pahami. Aku bahkan tidak mengatakannya kepada orang tuaku. Karena aku tidak mau masuk sekolah, orang tuaku berinisiatif memindahkan sekolahku. Mereka terus mendesakku untuk mengatakan kejadian itu tapi aku hanya bisa bungkam. Memendamnya seorang diri hingga sekarang. Sekelebat bayangan-bayangan masa lalu yang sangat tidak ingin aku ingat. 

Alasan kenapa aku tidak pernah mengatakan aku mencintai seorang wanita termasuk kepada Surtina karena aku tidak bisa merasakan apa-apa kepada wanita. Walaupun sering menghabiskan malam panas dengan berbagai wanita tapi sejujurnya aku tidak pernah merasa terpuaskan. Jiwaku masih haus dan terasa kosong. Hanya dengan mengelus paha bocah-bocah kecil itu syahwatku meningkat dan aku merasa senang. Bukannya aku tidak ingin menikah hanya saja aku tidak bisa.


Palembang, 23 April 2022


Related Posts

Posting Komentar