https://www.husnaroina.my.id/

Berdamai Dengan Diri Sendiri

Posting Komentar
Berdamai dengan diri sendiri
foto by canva


Berdamai dengan diri sendiri. Perlahan aku menyaksikan teman-teman, sahabat, orang-orang terdekat yang pergi menjauh menapaki langkah menuju masa depan. Satu persatu teman-teman dan sahabat memutuskan untuk menikah. Satu persatu aku menyaksikan mereka memberikan undangan dan menghadiri pernikahan mereka. Aku merasa ditinggalkan oleh mereka satu persatu. Aku merasa kehilangan seakan mereka pergi menjauh dariku. Padahal mereka berada dekat denganku.

Aku merasa seakan kehidupan mereka dengan kehidupanku tidak sama lagi. mereka sudah pasti mempunyai kesibukan masing-masing, mengurus suami dan keluarga baru mereka. Sedangkan aku masih tetap berada disini, ditempat yang sama. Masih dengan kehidupan yang sama.

Dalam kehidupan pernikahan seakan menjadi sebuah tuntutan. Sebuah keharusan yang terjadi dalam konstruksi sosial. Ketika seorang perempuan memasuki usia yang dianggap sudah pantas untuk menikah. Kita sebagai perempuan seakan mempunyai target sendiri kapan akan menikah. Seakan kita sudah siap menghadapi rumitnya masalah dalam biduk rumah tangga. Menjadi keresahan jika kita belum menikah sedang usia semakin bertambah. Ketakutan dan kekhwatiran mulai bercokol di relung hati. Mempertanyakan pada diri sendiri “kapan aku akan menikah?”. 

Rasa insecure mulai merambati hati. Melihat teman-teman sudah pada menikah tapi kita masih belum menikah. Mulai berpikir apa yang menjdi kurangnya diri. Mulai merasa rendah diri. Dan berbagai macam pikiran dan perasaan negatif lainnya mulai menyerang. 

Perempuan seakan tidak punya pilihan lain selain menikah itu adalah sebuah keharusan dalam masyarakat kita. Jika melewati batas perempuan cenderung di anggap perawan tua, tidak laku dan label negatif lainnya yang disematkan kepada diri seorang perempuan. Belum menikah dianggap sebagai sebuah kesialan. Para tetangga mulai memberikan saran agar si perempuan cepat menikah dengan membuang sial. 

Ada yang menyarankan mandi kembang, di ruqyah, pergi ke orang pintar, dan berbagai macam doa untuk memperlancar jodoh. Hal itu juga terjadi dengan diriku. Pertanyaan kapan menikah? Kapan nyusul? Sudah menjadi hal biasa. Hingga aku merasa muak setiap kali pertanyaan itu diajukan kepadaku?

Aku juga merasakan insecure kenapa aku belum menikah sedangkan teman-temanku sudah pada menikah. Dalam lingkungan pertemananku hanya aku sendiri yang belum menikah. Setiap kali berkumpul pembahasan selalu seputar rumah tangga dan anak-anak. Aku sering bertanya pada diri sendiri apa kurangnya aku? Seakan aku bukanlah menjadi perempuan pilihan laki-laki. Apakah aku kurang cantik? Kurang glowing? Selalu fisik yang menjadi tolak ukur ketika dihadapkan tentang pilihan laki-laki.

Jika di tanya tidak ada satu pun kah laki-laki yang menyukaiku? Jawabannya tidak, ada beberapa laki-laki yang sempat ingin mendekatiku. Menyatakan keinginan untuk mengenalku lebih dalam. Tetapi ketika menjalaninya, aku tidak merasakan apapun. Lantas salahkah aku menolak?

Apakah perempuan hanya harus menerima nasib sajakah. Menjadi yang di pilih? Aku tidak ingin seperti itu. Aku juga tidak ingin terus-terusan merasa insecure dengan diri sendiri. 

Aku memutuskan untuk bangkit dan mulai menata perasaan dan pikiranku. Aku mulai menerima diriku apa adanya. Walaupun usia semakin bertambah, aku tidak ingin menikah karena sebuah paksaan atau tuntutan saja. Aku menikah karena memang aku ingin. Bukan karena tuntutan masyarakat. 

Aku mulai berbenah melepaskan diri dari perasaan insecure karena belum menikah. Aku mulai melakukan hal-hal yang ku sukai. Menghabiskan waktu dengan bergelut dengan hal yang menyenangkan diriku sendiri. Aku mulai berdamai dengan diri sendiri. Mulai mencintai diriku. Agar aku terlepas dari rasa insecure yang merajam hatiku. 

Aku mulai merubah pemikiranku, agar tidak terlalu terpaut dengan persoalan pernikahan, umur, dan tututan sosial. Aku ingin jadi perempuan yang bebas dalam menentukan pilihan hidupku. Pernikahan adalah sebuah anugrah, belum menikah atau memutuskan tidak menikah pun adalah bentuk anugrah. Kita hanya perlu memandang lebih jauh agar pemikiran kita tidak tersekat hanya sebatas sebuah tuntutan. Kebahagian adalah milik kita orang lain tidak berhak menentukannya.


Related Posts

Posting Komentar